Undang-undang No.3 Tahun 2014 ditanda tangani oleh
Presiden R.I. pada tanggal 15 Januari 2014, sebagai pengganti Undang-undang
yang lama yaitu UU No.5 Tahun 1984, yaitu sekitar 30 tahun yang lalu, baru
diadakan penggantian Undang-undang. UU No.5/1984 sudah tidak sesuai lagi
dengan perubahan paradigma pembangunan industri.
UU ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat, memberikan ruang yang lebih luas untuk peningkatan kinerja sektor industri, serta lebih memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemerintah, pelaku industri dan masyarakat dalam pengembangan industri nasional.
Ringkasan Ketentuan Pokok yang diatur dalam UU No.3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian, adalah :
UU ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat, memberikan ruang yang lebih luas untuk peningkatan kinerja sektor industri, serta lebih memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemerintah, pelaku industri dan masyarakat dalam pengembangan industri nasional.
Ringkasan Ketentuan Pokok yang diatur dalam UU No.3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian, adalah :
- Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang Perindustrian (Pasal 57).
- Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (Bab III).
- Industri Strategis (Pasal 84).
- Pemanfaatan Sumber Daya Alam (Pasal 84).
- Pembangunan Sumber Daya Manusia (Pasal 16 29).
- Infrastruktur Industri (Pasal 62).
- Standardisasi Industri (Pasal 50 61).
- Tindakan Pengamanan Industri (Pasal 96 99).
- Fasilitas Industri (Pasal 110 111).
Sebagaimana dikemukakan oleh Bapak M.S.Hidayat, Menteri Perindustrian R.I. Program-program prioritas Kemenperin adalah :
I. Prioritas Nasional :
- Revitalisasi Industri Pupuk.
- Revitalisasi Industri Gula.
- Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit.
- Fasilitasi Pengembangan Zona Industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
II. Prioritas Kementerian :
- Hilirisasi Industri Berbasis Agro, Migas dan Bahan Tambang Mineral.
- Peningkatan Daya saing Industri Berbasis SDM, Pasar Domestik & Ekspor.
- Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM).
III. Kinerja lainnya :
- Fasilitasi Penanganan Kerjasama Industri Internasional.
- Fasilitasi Pemanfaatan Tax Holiday.
- Fasilitasi Pemanfaatan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP).
- Pengamanan Industri Melalui Penetapan Objek Vital Nasional Sektor Industri.
- Perumusan SNI.
- Upaya Pengurangan Impor Sektor Industri dan Peningkatan Nilai Tambah Produk Primer.
Bapak Menteri juga menyinggung Permasalahan Umum Sektor Industri Sehingga Impor Bahan Baku dan Barang Modal masih tinggi :
- Masih lemahnya daya saing industri nasional.
- Belum kuat dan belum dalamnya struktur industri nasional.
- Belum optimalnya alokasi sumber daya energi dan bahan baku serta pembiayaan industri.
- Masih banyaknya ekspor komoditi primer (gas, batu bara, mineral logam, minyak sawit, kakao, karet dan kulit).
- Belum memadainya dukungan sarana prasarana industri (kawasan industri, jaringan energi dan telekomunikasi, transportasi dan distribusi).
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3
TAHUN 2014
TENTANG
PERINDUSTRIAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur
yang merdeka,
bersatu, dan berdaulat
berdasarkan
Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945
dilaksanakan pembangunan
nasional
berdasar atas demokrasi ekonomi;
b. bahwa
pembangunan nasional di
bidang ekonomi
dilaksanakan dalam
rangka menciptakan struktur
ekonomi yang kukuh melalui
pembangunan industri yang
maju
sebagai motor penggerak
ekonomi yang didukung
oleh kekuatan
dan kemampuan sumber
daya yang
tangguh;
c. bahwa
pembangunan industri yang
maju diwujudkan
melalui penguatan struktur Industri
yang mandiri, sehat,
dan
berdaya saing, dengan
mendayagunakan sumber
daya secara
optimal dan efisien,
serta mendorong
perkembangan industri
ke seluruh wilayah
Indonesia
dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan
kesatuan
ekonomi nasional
yang berlandaskan pada
kerakyatan,
keadilan, dan
nilai-nilai luhur budaya
bangsa dengan
mengutamakan kepentingan nasional;
d. bahwa
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1984 tentang
Perindustrian sudah
tidak sesuai dengan
perubahan
paradigma pembangunan industri
sehingga perlu diganti
dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf
a, huruf b,
huruf c, dan
huruf d perlu
membentuk Undang-Undang tentang
Perindustrian;
Mengingat
: 1. Pasal
5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
33 Undang-Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik
Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang
Politik Ekonomi
dalam rangka Demokrasi Ekonomi;
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG
TENTANG PERINDUSTRIAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perindustrian adalah tatanan dan segala
kegiatan yang
bertalian dengan kegiatan industri.
2. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan
ekonomi yang
mengolah bahan baku dan/atau
memanfaatkan sumber
daya industri
sehingga menghasilkan barang
yang
mempunyai nilai
tambah atau manfaat
lebih tinggi,
termasuk jasa industri.
3. Industri
Hijau adalah Industri
yang dalam proses
produksinya mengutamakan upaya
efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumber daya
secara
berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan
pembangunan Industri
dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat.
4. Industri
Strategis adalah Industri
yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak,
meningkatkan
atau menghasilkan nilai tambah sumber
daya alam
strategis, atau mempunyai
kaitan dengan
kepentingan
pertahanan serta keamanan negara dalam
rangka
pemenuhan tugas pemerintah negara.
5. Bahan
Baku adalah bahan
mentah, barang setengah
jadi, atau
barang jadi yang dapat diolah menjadi barang setengah jadi
atau barang jadi
yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi.
6. Jasa
Industri adalah usaha
jasa yang terkait
dengan
kegiatan
Industri.
7. Setiap Orang adalah orang perseorangan
atau korporasi.
8. Korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau
kekayaan
yang terorganisasi, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
9. Perusahaan Industri
adalah Setiap Orang
yang
melakukan kegiatan
di bidang usaha
Industri yang berkedudukan di
Indonesia.
10. Perusahaan Kawasan Industri adalah
perusahaan yang
mengusahakan pengembangan dan
pengelolaan kawasan Industri.
11. Kawasan
Industri adalah kawasan
tempat pemusatan
kegiatan Industri
yang dilengkapi dengan
sarana dan prasarana penunjang
yang dikembangkan dan
dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri.
12. Teknologi Industri
adalah hasil pengembangan,
perbaikan, invensi,
dan/atau inovasi dalam
bentuk teknologi proses dan teknologi produk termasuk rancang
bangun dan perekayasaan,
metode, dan/atau sistem yang diterapkan dalam kegiatan
Industri.
13. Data
Industri adalah fakta
yang dicatat atau
direkam
dalam bentuk
angka, huruf, gambar,
peta, dan/atau
sejenisnya yang
menunjukkan keadaan sebenarnya
untuk waktu
tertentu, bersifat bebas
nilai, dan belum
diolah
terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri.
14. Data
Kawasan Industri adalah
fakta yang dicatat
atau
direkam dalam
bentuk angka, huruf,
gambar, peta,
dan/atau sejenisnya yang
menunjukkan keadaan
sebenarnya untuk
waktu tertentu, bersifat
bebas nilai, dan belum
diolah terkait dengan
kegiatan Perusahaan Kawasan
Industri.
15. Informasi
Industri adalah hasil
pengolahan Data
Industri dan
Data Kawasan Industri
ke dalam bentuk tabel,
grafik, kesimpulan, atau
narasi analisis yang memiliki arti atau makna tertentu yang
bermanfaat bagi penggunanya.
16. Sistem
Informasi Industri Nasional
adalah tatanan
prosedur dan
mekanisme kerja yang
terintegrasi meliputi unsur institusi,
sumber daya manusia,
basis data, perangkat keras
dan lunak, serta
jaringan komunikasi data yang
terkait satu sama
lain dengan tujuan untuk
penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan serta
penyebarluasan data dan/atau Informasi Industri.
17. Standar
Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat
SNI
adalah standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan
dan pembinaan di bidang standardisasi.
18. Standardisasi adalah proses merumuskan,
menetapkan,
menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan mengawasi standar
bidang Industri yang
dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku
kepentingan.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah
adalah Presiden
Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah
adalah gubernur, bupati,
atau
walikota, dan
perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan
pemerintahan
di bidang Perindustrian.
Pasal 2
Perindustrian
diselenggarakan berdasarkan asas:
a.
kepentingan nasional;
b.
demokrasi ekonomi;
c.
kepastian berusaha;
d.
pemerataan persebaran;
e.
persaingan usaha yang sehat; dan
f.
keterkaitan Industri.
Pasal 3
Perindustrian
diselenggarakan dengan tujuan:
a. mewujudkan Industri
nasional sebagai pilar
dan
penggerak perekonomian nasional;
b. mewujudkan kedalaman dan kekuatan
struktur Industri;
c. mewujudkan Industri
yang mandiri, berdaya
saing, dan
maju,
serta Industri Hijau;
d. mewujudkan kepastian berusaha,
persaingan yang sehat,
serta mencegah
pemusatan atau penguasaan
Industri
oleh
satu kelompok atau
perseorangan yang merugikan
masyarakat;
e. membuka kesempatan berusaha dan
perluasan
kesempatan
kerja;
f. mewujudkan pemerataan
pembangunan Industri ke
seluruh wilayah
Indonesia guna memperkuat
dan
memperkukuh
ketahanan nasional; dan
g. meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan
masyarakat
secara berkeadilan.
Pasal 4
Lingkup
pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. penyelenggaraan urusan
pemerintahan di bidang
Perindustrian;
b. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional;
c. Kebijakan Industri Nasional;
d. perwilayahan Industri;
e. pembangunan sumber daya Industri;
f. pembangunan sarana dan prasarana Industri;
g. pemberdayaan Industri;
h. tindakan pengamanan dan penyelamatan
Industri;
i. perizinan,
penanaman modal bidang
Industri, dan
fasilitas; j. Komite Industri
Nasional;
j. peran serta masyarakat; dan
k. pengawasan dan pengendalian.
BAB II
PENYELENGGARAAN
URUSAN PEMERINTAHAN
DI
BIDANG PERINDUSTRIAN
Pasal 5
(1) Presiden berwenang menyelenggarakan urusan
pemerintahan
di bidang Perindustrian.
(2) Kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan
oleh Menteri.
(3) Dalam
rangka pelaksanaan kewenangan
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2) Menteri melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
Perindustrian.
Pasal 6
(1) Kewenangan pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3)
yang bersifat teknis
untuk bidang
Industri tertentu
dilaksanakan oleh menteri
terkait
dengan
berkoordinasi dengan Menteri.
(2) Ketentuan lebih
lanjut mengenai kewenangan
pengaturan yang
bersifat teknis untuk
bidang Industri
tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
diatur
dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota secara
bersama-sama atau
sesuai dengan kewenangan masing-masing
menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang
Perindustrian
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.
(2)
Ketentuan mengenai kewenangan penyelenggaraan
urusan pemerintahan di
bidang Perindustrian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
BAB III
RENCANA
INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan
Perindustrian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3,
disusun
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional.
(2) Rencana
Induk Pembangunan Industri
Nasional sejalan
dengan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang
Nasional.
(3) Rencana
Induk Pembangunan Industri
Nasional
merupakan pedoman
bagi Pemerintah dan
pelaku
Industri dalam perencanaan dan
pembangunan Industri.
(4) Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional disusun
untuk jangka
waktu 20 (dua
puluh) tahun dan
dapat
ditinjau kembali setiap 5 (lima)
tahun.
Pasal 9
(1) Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional disusun
dengan paling sedikit memperhatikan:
a. potensi sumber daya Industri;
b. budaya
Industri dan kearifan
lokal yang tumbuh
di
masyarakat;
c. potensi dan perkembangan sosial ekonomi
wilayah;
d. perkembangan
Industri dan bisnis,
baik nasional
maupun internasional;
e. perkembangan
lingkungan strategis, baik
nasional
maupun internasional; dan
f. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
Rencana Tata
Ruang Wilayah
Provinsi, dan/atau Rencana
Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Rencana
Induk Pembangunan Industri
Nasional paling
sedikit
meliputi:
a. visi, misi, dan strategi pembangunan
Industri;
b. sasaran dan tahapan capaian pembangunan
Industri;
c. bangun Industri nasional;
d. pembangunan sumber daya Industri;
e. pembangunan sarana dan prasarana Industri;
f. pemberdayaan Industri; dan
g. perwilayahan Industri.
(3) Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional disusun
oleh
Menteri berkoordinasi dengan
instansi terkait dan
mempertimbangkan masukan dari pemangku
kepentingan
terkait.
(4) Rencana
Induk Pembangunan Industri
Nasional
dilaksanakan melalui Kebijakan
Industri Nasional.
(5) Rencana
Induk Pembangunan Industri
Nasional
ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 10
(1) Setiap
gubernur menyusun Rencana
Pembangunan
Industri Provinsi.
(2) Rencana
Pembangunan Industri Provinsi
mengacu
kepada Rencana
Induk Pembangunan Industri
Nasional
dan Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun
dengan
paling sedikit memperhatikan:
a. potensi sumber daya Industri daerah;
b. Rencana
Tata Ruang Wilayah
Provinsi dan/atau
Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota; dan
c. keserasian
dan keseimbangan dengan
kebijakan
pembangunan Industri
di kabupaten/kota serta
kegiatan sosial
ekonomi dan daya
dukung
lingkungan.
(4) Rencana
Pembangunan Industri Provinsi
ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Provinsi
setelah dievaluasi oleh
Pemerintah sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 11
(1)
Setiap bupati/walikota menyusun Rencana Pembangunan
Industri Kabupaten/Kota.
(2)
Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun
dengan mengacu
pada Rencana Induk
Pembangunan
Industri Nasional dan Kebijakan
Industri Nasional.
(3)
Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun
dengan paling sedikit memperhatikan:
a. potensi sumber daya Industri daerah;
b. Rencana
Tata Ruang Wilayah
Provinsi dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
dan
c. keserasian
dan keseimbangan dengan
kegiatan sosial
ekonomi serta daya dukung
lingkungan.
(4)
Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota
ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
setelah dievaluasi oleh gubernur
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB IV
KEBIJAKAN
INDUSTRI NASIONAL
Pasal 12
(1) Kebijakan Industri
Nasional merupakan arah
dan
tindakan untuk
melaksanakan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional.
(2) Kebijakan Industri Nasional paling
sedikit meliputi:
a. sasaran pembangunan Industri;
b. fokus pengembangan Industri;
c. tahapan capaian pembangunan Industri;
d. pengembangan sumber daya Industri;
e. pengembangan sarana dan prasarana;
f. pengembangan perwilayahan Industri;
dan
g. fasilitas fiskal dan nonfiskal.
(3) Kebijakan Industri
Nasional disusun untuk
jangka
waktu 5
(lima) tahun.
(4) Kebijakan Industri
Nasional disusun oleh
Menteri
berkoordinasi dengan instansi terkait dan
mempertimbangkan masukan dari pemangku
kepentingan
terkait.
(5) Kebijakan Industri
Nasional sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.
Pasal 13
(1) Kebijakan
Industri Nasional sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal
12 dijabarkan ke
dalam Rencana Kerja
Pembangunan Industri.
(2) Rencana
Kerja Pembangunan Industri
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 1
(satu) tahun.
(3) Rencana
Kerja Pembangunan Industri
disusun oleh
Menteri berkoordinasi dengan
instansi terkait dan
mempertimbangkan masukan dari pemangku
kepentingan
terkait.
(4) Rencana
Kerja Pembangunan Industri
ditetapkan oleh
Menteri.
BAB V
PERWILAYAHAN
INDUSTRI
Pasal 14
(1) Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah melakukan
percepatan penyebaran
dan pemerataan pembangunan Industri ke
seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia
melalui perwilayahan Industri.
(2) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1)
dilakukan dengan paling sedikit memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah;
b. pendayagunaan potensi
sumber daya wilayah
secara nasional;
c. peningkatan daya
saing Industri berlandaskan
keunggulan sumber daya yang dimiliki
daerah; dan
d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai
nilai.
(3) Perwilayahan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2)
dilaksanakan melalui:
a. pengembangan wilayah
pusat pertumbuhan
Industri;
b. pengembangan kawasan peruntukan Industri;
c. pembangunan Kawasan Industri; dan
d. pengembangan
sentra Industri kecil
dan Industri
menengah.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
perwilayahan Industri
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMBANGUNAN
SUMBER DAYA INDUSTRI
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 15
Pembangunan
sumber daya Industri meliputi:
a. pembangunan sumber daya manusia;
b. pemanfaatan sumber daya alam;
c. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi
Industri;
d. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan
inovasi;
dan
e. penyediaan sumber pembiayaan.
Bagian
Kedua
Pembangunan
Sumber Daya Manusia
Pasal 16
(1) Pembangunan sumber daya manusia Industri
dilakukan
untuk menghasilkan sumber
daya manusia yang
kompeten guna
meningkatkan peran sumber
daya
manusia Indonesia di bidang
Industri.
(2) Pembangunan sumber
daya manusia Industri
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan
oleh
Pemerintah, Pemerintah
Daerah, pelaku Industri,
dan masyarakat.
(3) Pembangunan sumber
daya manusia Industri
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memperhatikan
penyebaran dan
pemerataan ketersediaan sumber
daya manusia Industri yang
kompeten untuk setiap
wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Sumber
daya manusia Industri
sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) meliputi:
a. wirausaha Industri;
b. tenaga kerja Industri;
c. pembina Industri; dan
d. konsultan Industri.
Pasal 17
(1)
Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16
ayat (4) huruf a
dilakukan untuk
menghasilkan
wirausaha yang berkarakter dan bermental
kewirausahaan serta
mempunyai kompetensi sesuai dengan bidang usahanya meliputi:
a. kompetensi teknis;
b. kompetensi manajerial; dan
c. kreativitas dan inovasi.
(2)
Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling
sedikit melalui kegiatan:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. inkubator Industri; dan
c. kemitraan.
(3)
Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud
pada
ayat (2) dilakukan
terhadap calon wirausaha
Industri dan wirausaha Industri yang
telah menjalankan
kegiatan usahanya.
(4)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan
oleh:
a. lembaga
pendidikan formal sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. lembaga pendidikan nonformal; atau
c. lembaga
penelitian dan pengembangan yang
terakreditasi.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara
penyelenggaraan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 18
(1) Pembangunan tenaga
kerja Industri sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 16 ayat
(4) huruf b
dilakukan
untuk menghasilkan tenaga
kerja Industri yang
mempunyai
kompetensi kerja di bidang Industri sesuai
dengan Standar
Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia
meliputi:
a. kompetensi teknis; dan
b. kompetensi manajerial.
(2) Pembangunan tenaga
kerja Industri sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan:
a. pendidikan dan pelatihan; dan
b. pemagangan.
(3) Pembangunan tenaga
kerja Industri sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap tenaga kerja dan calon tenaga
kerja.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
dilakukan
oleh:
a. lembaga
pendidikan formal sesuai
dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. lembaga pendidikan nonformal;
c. lembaga
penelitian dan pengembangan yang
terakreditasi; atau d. Perusahaan
Industri.
Pasal 19
(1)
Tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) terdiri atas:
a. tenaga teknis; dan
b. tenaga manajerial.
(2)
Tenaga teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a paling sedikit memiliki:
a. kompetensi teknis sesuai dengan Standar
Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia di bidang
Industri; dan
b. pengetahuan manajerial.
(3)
Tenaga manajerial sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1)
huruf b paling sedikit memiliki:
a. kompetensi
manajerial sesuai dengan
Standar
Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia di
bidang
Industri; dan
b. pengetahuan teknis.
Pasal 20
Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah memfasilitasi pembangunan pusat
pendidikan dan pelatihan
Industri di wilayah pusat
pertumbuhan Industri.
BAB XVII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
123
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 1984
Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3274) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b. semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan
peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor
5
Tahun 1984
tentang Perindustrian
(Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor
22, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3274)
dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang
tidak
bertentangan
atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini;
dan
c. Izin
Usaha Industri dan/atau
Izin Perluasan Industri,
Tanda Daftar Industri atau izin yang
sejenis, yang telah
dimiliki oleh
Perusahaan Industri dan
Izin Usaha
Kawasan Industri
dan/atau Izin Perluasan
Kawasan
Industri yang
telah dimiliki oleh
Perusahan Kawasan
Industri yang
telah dikeluarkan berdasarkan
Undang-
Undang Nomor
5 Tahun 1984
tentang Perindustrian
(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984
Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor
3274) dan peraturan
pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang Perusahaan Industri
atau Perusahaan Kawasan
Industri yang bersangkutan masih beroperasi
sesuai dengan izin
yang diberikan. Pasal 124
Peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang ini ditetapkan paling lama
2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal
125
Undang-Undang
ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada tanggal
15 Januari 2014
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 15 Januari 2014
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR
SYAMSUDIN
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 4
Dikutip dari:
www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/113/2610.bpkp
http://www.aprisindo.or.id/en/component/content/article/37-daily-news/106-raker-kemenperind-undang-undang-no3-tahun-2014-tentang-perindustrian
Video ini
menceritakan tentang bengkel motor yang tidak memperdulikan lingkungan, dikarenakan bengkel motor tersebut tidak mempunyai tempat pembuangan limbah seperti oli motor. Bengkel motor tersebut membuang oli sembarangan padahal terdapat larangan mengenai pembuangan limbah usaha industri. Hal ini telah dituliskan pada undang-undang nomor 5 tahun 1984 tentang
perindustrian bab 2 pasal 3 ayat 1 "pembangunan industri
bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/hasil
budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian
lingkungan hidup". Jika melanggar maka usaha tersebut diberikan
kesempatan yaitu mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari pemerintah. Pada bagian kedua, video ini membahas tentang perusahaan-perusahaan industri yang berdiri dekat dengan pemukiman warga. Tetapi seharusnya pembuat video harus mengetahui terlebih dahulu apakah daerah tersebut memang sudah ditetapkan sebagai kawasan industri dan warga yang bersikeras mendirikan pemukiman di wilayah tersebut, atau sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar