Sabtu, 27 Juni 2015

Akankah Pabrik Semen Ini Merusak Lingkungan?

Semen merupakan jenis bahan bangunan material rumah yang paling sering digunakan. Bahan bangunan ini digunakan untuk membuat sebuah fondasi. Untuk itu, jangan salah pilih semennya.

SCG, produsen semen asal Thailand, menunjukkan aplikasi produk inovatif terbarunya di ajang pameran bahan bangunan Indobuildtech 2015 yang berlangsung di Jakarta pada 3-7 Juni 2015. Produk ini untuk memenuhi permintaan di pasar Indonesia.

SCG Cement Building Material, yang merupakan salah satu dari tiga bisnis utama perusahaan, memperkenalkan tiga produk andalannya, yaitu SCG Cement PCC (Portland Composite Cement), SCG Smartblock (beton ringan aerasi), dan Jayamix oleh SCG Super Concrete (formula baru untuk beton cor). Produk baru yang secara khusus dikembangkan untuk penggunaan di dinding ini menawarkan kualitas premium dan cocok untuk peletakan batu bata dan plastering.

Produk tersebut tidak hanya cepat kering, juga memiliki fitur menarik, seperti daya rekat yang kuat, mudah diplester, dan memiliki permukaan yang halus. Atthapol Phongcharoensuk selaku Branding & Marketing Manager SCG Cement Building Materials mengatakan, SCG Cement PCC akan dijual di pasar Indonesia pada Juli mendatang.

Selain itu, dia memperkirakan pembangunan pabrik semen SCG di Sukabumi akan selesai dan siap untuk berpotensi secara komersial pada kuartal ketiga 2015. Produk utama lainnya yang ditampilkan SCG di Indobuildtech Expo adalah SCG Smartblock, produk blok beton ringan yang sepuluh kali lipat lebih baik daripada blok beton pada umumnya dan mampu menghemat hingga 30% konsumsi energi dalam rumah tangga.

“SCG Smartblock merupakan produk beton ringan pertama kami yang menggunakan merek SCG di pasar ASEAN. Dengan selesainya pabrik greenfild beton aerasi (ALC) di Karawang pada April lalu, kami sekarang siap untuk beroperasi secara komersial. Kami pasti akan menjadi pemain ALC terdepan di Indonesia dengan memiliki kapasitas 450.000 meter kubik per tahun,” sebut Atthapol.

Tidak hanya sebatas itu, untuk memberikan solusi kepada konsumen dengan proyek pembangunan di area jalan yang sempit, SCG kembali memperkenalkan inovasi terbaru. Produk terbaru ini diberi nama Jayamixni, yaitu truk mixer pengantar beton siap pakai berukuran mini yang dapat melewati jalanan dengan lebar hanya 3 meter. Sebelumnya, proyek pembangunan dengan beton siap pakai di jalan sempit dikerjakan secara manual oleh pekerja proyek.

Hal ini karena truk mixer pengantar beton siap pakai yang berukuran normal tidak dapat menjangkau area dengan jalan terbatas tersebut. Metode manual ini tentunya tidak efisien dan dapat berpengaruh pada ketahanan struktur bangunan pada masa depan.

Country Director SCG Indonesia dan Presiden Direktur PT SCG Readymix Indonesia Nantapong Chantrakul mengatakan, Jayamixni merupakan solusi untuk pembangunan perumahan dan proyek infrastruktur yang berlokasi di area jalan sempit yang sebelumnya tidak dapat diakses oleh truk mixer pengantar beton.

Untuk tahap pertama, Jayamix produksi SCG meluncurkan enam truk Jayamixni sebagai proyek percontohan untuk melayani permintaan pasar. Ke depannya, SCG berencana meningkatkan jumlah truknya menjadi 20 truk sampai akhir tahun ini.

“Sesuai dengan tagline-nya, ‘Mini Order, Mini Acces, Maxi Quality’, Jayamixni tidak hanya mampu untuk mengantarkan beton siap pakai ke area berakses terbatas, juga mampu mengantarkan beton siap pakai berkualitas yang tepat sasaran kepada konsumen,” ujar Nantapong. 



Pembangunan pabrik semen  PT Siam Cemen Group (SCG) atau Semen Jawa di Kecamatan Gunung Guruh, Jawa Barat mendapatkan penolakan warga. Warga menilai, pabrik semen mengancam kelestarian lingkungan karena bisa menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dan membongkar pegunungan karst Gunung Guha Nyalindung. Juga, berdampak pada kesehatan, dan mengancam ekosistem DAS Cimandiri yang menjadi bagian kawasan pabrik.

“Kami masih tetap menolak pembangunan pabrik semen. Pembangunan pabrik baru berjalan sudah menyebabkan pencemaran sungai, polusi udara, bising karena alat berat dan sebagainya. Apalagi jika nanti sudah beroperasi?” kata Andrian Waluya Adi, warga Kampung Kubang Jaya,  Kecamatan Gunung Guruh

Dia mengatakan, jarak pabrik semen dengan pemukiman warga sangat dekat. Di beberapa sisi ada hanya berjarak dua dan empat meter. Jarak terjauh hanya 100-300 meter. Kondisi ini, tidak ideal jika ada pabrik semen.
“Sejak 2012, awal pabrik dibangun, warga sudah menolak. Proses sosialisasi perusahaan tidak menyeluruh. Warga tidak mendapatkan informasi utuh.”

Dalam sosialisasi, warga yang diundang hanya segelintir. Banyak warga tidak mengetahui mega proyek Rp3,4 triliun ini.
“Dalam audiensi dengan bupati beberapa waktu lalu, dia mengakui sosialisasi terlewatkan. Anehnya bupati mengatakan tidak harus semua warga menandatangani persetujuan pembangunan pabrik semen. Cukup perwakilan. Audiensi sudah tiga kali.”
Dalam audiensi, bupati seringkali menggiring upaya ganti rugi atau pembebasan lahan. Tanpa ada upaya menghentikan pembangunan pabrik.

Andrian mengatakan, banyak kejanggalan dalam dokumen persetujuan warga. Hanya segelintir warga dilibatkan hingga memancing amarah. Mereka aksi berkali kali.
Aksi melibatkan warga di tiga desa hulu pabrik: Sukamaju, Wangun Reja, dan Tanjungsari. Juga dua desa di hilir pabrik yakni Desa  Sirnaresmi dan Kebonmanggu meliputi Kecamatan Gunung Guruh, Nyalindung dan Jampang Tengah.
“Itu bukan aksi mencari sensasi atau menuntut ganti rugi lahan yang belum selesai. Ini perlawanan atas penjajahan yang terencana, masif dan terstruktur oleh Pemda Sukabumi dan investor sejak 2008.”


Dia mengatakan, warga kesulitan mengakses dokumen Amdal. Hingga Januari 2014, mereka meminta bantuan Walhi Jabar. “Dokumen Amdal akhirnya dapat. Saat dipelajari, banyak kelemahan. Itu Amdal jadi-jadian.”

Dalam dokumen Amdal merujuk RTRW Sukabumi 2006. Padahal dalam RTRW jelas wilayah itu bukan buat pertambangan.
“Amdal 2008 tetapi pembangunan mulai 2012 setelah ada revisi RTRW. Ini jelas ada cacat hukum,” katanya.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan mengatakan, sejak awal megaproyek itu bermasalah dari aspek sosial dan lingkungan hidup. Ada indikasi pelanggaran aturan selama proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

“Adanya kejanggalan-kejanggalan sosialisasi proyek, dimana warga yang terkena dampak langsung dan tidak langsung tidak diberikan informasi utuh dan lengkap mengenai rencana pembangunan.” Dalam penyusunan Amdal, katanya, belum sepenuhnya melibatkan warga.

Dia menilai, Pemkab Sukabumi  dan SCG mengabaikan aspirasi dan keberatan warga. Padahal, mereka dirugikan dengan pembangunan pabrik itu.
Untuk itu, dia meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan BPLHD Jabar segera memeriksa pembangunan ini.

Menanggapi ini, Kepala BPLHD Jabar Anang Sudarna mengatakan, pembangunan pabrik semen di Sukabumi, tidak sepenuhnya soal lingkungan hidup. Ada persoalan sosial yang harus segera diselesaikan Pemkab Sukabumi.

“Persoalan sosial seperti kesepakatan ganti rugi belum disepakati. Ada beberapa warga menolak besaran ganti rugi,” katanya.
Anang menilai, persoalan tenaga kerja dalam pembangunan pabrik juga menjadi pemicu konflik di masyarakat.

Mengenai sosialisasi pembangunan pabrik, katanya, fakta dokumen sosialisasi ada. Memang, katanya, tak perlu semua warga ikut menandatangani, lewat perwakilan.

“Proses Amdal sudah selesai. Ini melibatkan pakar dan penilai. Dokumen Amdal lolos uji. Tinggal mengikuti rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam dokumen agar dampak bisa diminimalisir.”
Anang mengatakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merekomendasikan kawasan itu bukan karts kelas satu hingga bisa ada pertambangan.

Soal mengecek lapangan, katanya, BLH Sukabumi intens melakukan pengawasan. Tiap enam bulan sekali ada laporan. Dia menilai, laporan BLH Sukabumi mengenai pabrik semen masih wajar. “Sesekali kita dari provinsi juga pengecekan lapangan.”



Pasalnya, pabrik semen asal Thailand tersebut akan menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) karena operasi tambang menggunakan batubara. Kondisi itu tentunya  membahayakan kesehatan warga sekitar dan mengancam kelestarian lingkungan hidup.

“Produksi pabrik semen itu akan menimbuklan polusi karena menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3,” kata Direktur Walhi Jabar, Dadan Ramdan

Persoalan lainnya, lanjut Dadan, pabrik semen ini masih bermasalah dalam  izin lingkungan dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Belum lagi, sumber mata air bagi warga di sekitar pabrik juga akan hilang. Dampak lainnya yakni penggusuran lahan dan permukiman warga yang ada di sekitar pabrik semen.
“Seharusnya, warga di sekitar pabrik semen harus mendapatkan informasi mengenai Amdal yang lengkap,” cetusnya.

Bupati Sukabumi Sukmawijaya menegaskan keberadaan pabrik semen di Kabupaten Sukabumi tidak akan merusak lingkungan. Menurutnya, pabrik semen itu mempunyai teknik dan cara beroperasi tanpa menimbulkan polusi.

“Perusahaan asal Thailand tersebut sudah berpengalaman sekitar 100 tahun dalam industri semen, seringkali mendapatkan penghargaan dari dunia karena keberhasilannya membangun industry berwawasan lingkungan. Jadi tak perlu khawatir. Namun, ke depan jika perusahaan tidak mampu mengendalikan kerusakan lingkungan maka ditindak tegas,” jelasnya.

Dikuti dari:



Undang-Undang Perindustrian

Undang-undang No.3 Tahun 2014 ditanda tangani oleh Presiden R.I. pada tanggal 15 Januari 2014, sebagai pengganti Undang-undang yang lama yaitu UU No.5 Tahun 1984, yaitu sekitar 30 tahun yang lalu, baru diadakan penggantian Undang-undang.  UU No.5/1984 sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan paradigma pembangunan industri.

UU ini diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat, memberikan ruang yang lebih luas untuk peningkatan kinerja sektor industri, serta lebih memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemerintah, pelaku industri dan masyarakat dalam pengembangan industri nasional.
Ringkasan Ketentuan Pokok yang diatur dalam UU No.3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian, adalah :
  1. Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Bidang Perindustrian (Pasal 57).
  2. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (Bab III).
  3. Industri Strategis (Pasal 84).
  4. Pemanfaatan Sumber Daya Alam (Pasal 84).
  5. Pembangunan Sumber Daya Manusia (Pasal 16  29).
  6. Infrastruktur Industri (Pasal 62).
  7. Standardisasi Industri (Pasal 50  61).
  8. Tindakan Pengamanan Industri (Pasal 96  99).
  9. Fasilitas Industri (Pasal 110  111).

Sebagaimana dikemukakan oleh Bapak M.S.Hidayat, Menteri Perindustrian R.I. Program-program prioritas Kemenperin adalah :
I. Prioritas Nasional :
  • Revitalisasi  Industri Pupuk.
  • Revitalisasi Industri Gula.
  • Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit.
  • Fasilitasi Pengembangan Zona Industri di Kawasan Ekonomi   Khusus (KEK).

II. Prioritas Kementerian :
  • Hilirisasi Industri Berbasis Agro, Migas dan Bahan Tambang Mineral.
  • Peningkatan Daya saing Industri Berbasis SDM, Pasar Domestik & Ekspor.
  • Pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM).

III. Kinerja lainnya :
  • Fasilitasi Penanganan Kerjasama Industri Internasional.
  • Fasilitasi Pemanfaatan Tax Holiday.
  • Fasilitasi Pemanfaatan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP).
  • Pengamanan Industri Melalui Penetapan Objek Vital Nasional Sektor Industri.
  • Perumusan SNI.
  • Upaya Pengurangan Impor Sektor Industri dan Peningkatan Nilai Tambah Produk Primer.

Bapak Menteri juga menyinggung Permasalahan Umum Sektor Industri Sehingga Impor Bahan Baku dan Barang Modal masih tinggi :
  1. Masih lemahnya daya saing industri nasional.
  2. Belum kuat dan belum dalamnya struktur industri nasional.
  3. Belum optimalnya alokasi sumber daya energi dan bahan baku serta pembiayaan industri.
  4. Masih banyaknya ekspor komoditi primer (gas, batu bara, mineral logam, minyak sawit, kakao, karet dan kulit).
  5. Belum memadainya dukungan sarana prasarana industri (kawasan industri, jaringan energi dan telekomunikasi, transportasi dan distribusi).

 
 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2014
            TENTANG
PERINDUSTRIAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang   :           a.   bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang   merdeka,   bersatu,   dan   berdaulat   berdasarkan
Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik
Indonesia   Tahun 1945   dilaksanakan   pembangunan
nasional berdasar atas demokrasi ekonomi;
b.   bahwa   pembangunan   nasional   di   bidang   ekonomi
            dilaksanakan    dalam    rangka    menciptakan    struktur
            ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri yang
            maju  sebagai  motor  penggerak  ekonomi  yang  didukung
            oleh   kekuatan   dan   kemampuan   sumber   daya   yang
            tangguh;
c.         bahwa  pembangunan  industri  yang  maju  diwujudkan
            melalui penguatan struktur Industri yang mandiri, sehat,
            dan  berdaya  saing,  dengan  mendayagunakan  sumber
            daya   secara   optimal   dan   efisien,   serta   mendorong
            perkembangan  industri  ke  seluruh  wilayah  Indonesia
            dengan  menjaga  keseimbangan  kemajuan  dan  kesatuan
            ekonomi  nasional  yang  berlandaskan  pada  kerakyatan,
            keadilan,  dan  nilai-nilai  luhur  budaya  bangsa  dengan
            mengutamakan kepentingan nasional;
d.         bahwa  Undang-Undang  Nomor  5  Tahun  1984  tentang
            Perindustrian   sudah   tidak   sesuai   dengan   perubahan
            paradigma pembangunan industri sehingga perlu diganti
            dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
            dalam  huruf  a,  huruf  b,  huruf  c,  dan  huruf  d  perlu
            membentuk Undang-Undang tentang Perindustrian;



   

Mengingat     :           1.   Pasal  5 ayat  (1), Pasal  20, dan Pasal  33 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.   Ketetapan   Majelis   Permusyawaratan   Rakyat   Republik
            Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
            dalam rangka Demokrasi Ekonomi;


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :           UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.    Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang
            bertalian dengan kegiatan industri.
2.    Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang
            mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber
            daya   industri   sehingga   menghasilkan   barang   yang
            mempunyai  nilai  tambah  atau  manfaat  lebih  tinggi,
            termasuk jasa industri.
3.    Industri   Hijau   adalah   Industri   yang   dalam   proses
            produksinya    mengutamakan    upaya    efisiensi    dan
efektivitas      penggunaan      sumber      daya      secara
berkelanjutan            sehingga        mampu     menyelaraskan
pembangunan    Industri    dengan    kelestarian    fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
4.    Industri  Strategis  adalah  Industri  yang  penting  bagi
            negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak,



   
meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber
daya  alam  strategis,  atau  mempunyai  kaitan  dengan
kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam
rangka pemenuhan tugas pemerintah negara.
5.         Bahan  Baku  adalah  bahan  mentah,  barang  setengah
jadi, atau barang jadi yang dapat diolah menjadi barang setengah  jadi  atau  barang  jadi  yang  mempunyai  nilai ekonomi yang lebih tinggi.
6.         Jasa  Industri  adalah  usaha  jasa  yang  terkait  dengan
kegiatan Industri.
7.         Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
8.         Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan/atau  kekayaan
yang   terorganisasi,   baik   merupakan   badan   hukum maupun bukan badan hukum.
9.         Perusahaan    Industri    adalah    Setiap    Orang    yang
melakukan  kegiatan  di  bidang  usaha  Industri  yang berkedudukan di Indonesia.
10.       Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang
mengusahakan     pengembangan     dan     pengelolaan kawasan Industri.
11.       Kawasan  Industri  adalah  kawasan  tempat  pemusatan
kegiatan  Industri  yang  dilengkapi  dengan  sarana  dan prasarana  penunjang  yang  dikembangkan  dan  dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri.
12.       Teknologi    Industri    adalah    hasil    pengembangan,
perbaikan,   invensi,   dan/atau   inovasi   dalam   bentuk teknologi proses dan teknologi produk termasuk rancang bangun  dan  perekayasaan,  metode,  dan/atau  sistem yang diterapkan dalam kegiatan Industri.
13.       Data  Industri  adalah  fakta  yang  dicatat  atau  direkam
dalam  bentuk  angka,  huruf,  gambar,  peta,  dan/atau
sejenisnya   yang   menunjukkan   keadaan   sebenarnya
untuk  waktu  tertentu,  bersifat  bebas  nilai,  dan  belum
diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri.
14.       Data  Kawasan  Industri  adalah  fakta  yang  dicatat  atau
direkam  dalam  bentuk  angka,  huruf,  gambar,  peta,
dan/atau    sejenisnya    yang    menunjukkan    keadaan



   
sebenarnya  untuk  waktu  tertentu,  bersifat  bebas  nilai, dan  belum  diolah  terkait  dengan  kegiatan  Perusahaan Kawasan Industri.
15.       Informasi   Industri   adalah   hasil   pengolahan   Data
Industri  dan  Data  Kawasan  Industri  ke  dalam  bentuk tabel,  grafik,  kesimpulan,  atau  narasi  analisis  yang memiliki arti atau makna tertentu yang bermanfaat bagi penggunanya.
16.       Sistem   Informasi   Industri   Nasional   adalah   tatanan
prosedur   dan   mekanisme   kerja   yang   terintegrasi meliputi  unsur  institusi,  sumber  daya  manusia,  basis data,   perangkat   keras   dan   lunak,   serta   jaringan komunikasi  data  yang  terkait  satu  sama  lain  dengan tujuan   untuk   penyampaian,   pengelolaan,   penyajian, pelayanan    serta    penyebarluasan    data    dan/atau Informasi Industri.
17.       Standar  Nasional  Indonesia  yang  selanjutnya  disingkat
SNI adalah standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan  pengembangan  dan  pembinaan  di bidang standardisasi.
18.       Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan,
menerapkan,     memelihara,     memberlakukan,     dan mengawasi  standar  bidang  Industri  yang  dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan.
19.       Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah  Presiden  Republik  Indonesia  yang  memegang kekuasaan  pemerintahan  Negara  Republik  Indonesia sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20.       Pemerintah   Daerah   adalah   gubernur,   bupati,   atau
walikota,    dan    perangkat    daerah    sebagai    unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
21.       Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Perindustrian.



   

Pasal 2


Perindustrian diselenggarakan berdasarkan asas:
a. kepentingan nasional;
b. demokrasi ekonomi;
c. kepastian berusaha;
d. pemerataan persebaran;
e. persaingan usaha yang sehat; dan
f. keterkaitan Industri.


Pasal 3


Perindustrian diselenggarakan dengan tujuan:
a.         mewujudkan    Industri    nasional    sebagai    pilar    dan
            penggerak perekonomian nasional;
b.         mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur Industri;
c.         mewujudkan  Industri  yang  mandiri,  berdaya  saing,  dan
maju, serta Industri Hijau;
d.         mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat,
            serta  mencegah  pemusatan  atau  penguasaan  Industri
            oleh  satu  kelompok  atau  perseorangan  yang  merugikan
            masyarakat;
e.         membuka     kesempatan     berusaha     dan     perluasan
kesempatan kerja;
f.          mewujudkan   pemerataan   pembangunan   Industri   ke
seluruh   wilayah   Indonesia   guna   memperkuat   dan
memperkukuh ketahanan nasional; dan
g.         meningkatkan           kemakmuran      dan      kesejahteraan
masyarakat secara berkeadilan.


Pasal 4


Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
a.  penyelenggaraan    urusan    pemerintahan    di    bidang
            Perindustrian;
b.  Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional;
c.  Kebijakan Industri Nasional;



   

d.  perwilayahan Industri;
e.  pembangunan sumber daya Industri;
f.  pembangunan sarana dan prasarana Industri;
g.  pemberdayaan Industri;
h.  tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri;
i.   perizinan,   penanaman   modal   bidang   Industri,   dan
            fasilitas; j. Komite Industri Nasional;
j.   peran serta masyarakat; dan
k.  pengawasan dan pengendalian.


BAB II
PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN
DI BIDANG PERINDUSTRIAN


Pasal 5


(1)        Presiden        berwenang     menyelenggarakan     urusan
pemerintahan di bidang Perindustrian.
(2)        Kewenangan   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)
dilaksanakan oleh Menteri.
(3)        Dalam  rangka  pelaksanaan  kewenangan  sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Menteri melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan Perindustrian.

Pasal 6


(1)        Kewenangan  pengaturan  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal   5  ayat (3)  yang  bersifat  teknis  untuk  bidang
Industri   tertentu   dilaksanakan   oleh   menteri   terkait
dengan berkoordinasi dengan Menteri.
(2)        Ketentuan     lebih     lanjut     mengenai     kewenangan
            pengaturan  yang  bersifat  teknis  untuk  bidang  Industri
            tertentu  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1)  diatur
dengan Peraturan Pemerintah.



   

Pasal 7

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
            Daerah   kabupaten/kota   secara   bersama-sama   atau
sesuai dengan           kewenangan  masing-masing
menyelenggarakan   urusan   pemerintahan   di   bidang
Perindustrian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.
(2) Ketentuan    mengenai    kewenangan    penyelenggaraan
            urusan     pemerintahan     di     bidang     Perindustrian
            sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) diatur dengan atau
            berdasarkan Peraturan Pemerintah.


BAB III
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL


Pasal 8


(1)        Untuk mewujudkan            tujuan penyelenggaraan
Perindustrian  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal             3,
disusun Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional.
(2)        Rencana  Induk  Pembangunan  Industri  Nasional  sejalan
            dengan    Rencana    Pembangunan    Jangka    Panjang
            Nasional.
(3)        Rencana    Induk    Pembangunan    Industri    Nasional
            merupakan   pedoman   bagi   Pemerintah   dan   pelaku
            Industri dalam perencanaan dan pembangunan Industri.
(4)        Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun
            untuk  jangka  waktu  20  (dua  puluh)  tahun  dan  dapat
            ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.

Pasal 9

(1)        Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun
            dengan paling sedikit memperhatikan:
a.   potensi sumber daya Industri;



   
b.   budaya  Industri  dan  kearifan  lokal  yang  tumbuh  di
            masyarakat;
c.   potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
d.   perkembangan  Industri  dan  bisnis,  baik  nasional
            maupun internasional;
e.   perkembangan  lingkungan  strategis,  baik  nasional
            maupun internasional; dan
f.          Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata
            Ruang  Wilayah  Provinsi,  dan/atau  Rencana  Tata
            Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(2)        Rencana  Induk  Pembangunan  Industri  Nasional  paling
sedikit meliputi:
a.   visi, misi, dan strategi pembangunan Industri;
b.   sasaran dan tahapan capaian pembangunan Industri;
c.   bangun Industri nasional;
d.   pembangunan sumber daya Industri;
e.   pembangunan sarana dan prasarana Industri;
f.          pemberdayaan Industri; dan
g.   perwilayahan Industri.
(3)        Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun
            oleh  Menteri  berkoordinasi  dengan  instansi  terkait  dan
mempertimbangkan            masukan        dari     pemangku
kepentingan terkait.
(4)        Rencana    Induk    Pembangunan    Industri    Nasional
            dilaksanakan melalui Kebijakan Industri Nasional.
(5)        Rencana    Induk    Pembangunan    Industri    Nasional
            ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 10

(1)  Setiap   gubernur   menyusun   Rencana   Pembangunan
            Industri Provinsi.
(2)  Rencana   Pembangunan   Industri   Provinsi   mengacu
            kepada  Rencana  Induk  Pembangunan  Industri  Nasional
            dan Kebijakan Industri Nasional.
(3)  Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun dengan
            paling sedikit memperhatikan:



   

a.   potensi sumber daya Industri daerah;
b.   Rencana   Tata   Ruang   Wilayah   Provinsi   dan/atau
            Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan
c.   keserasian   dan   keseimbangan   dengan   kebijakan
            pembangunan   Industri   di   kabupaten/kota   serta
            kegiatan    sosial    ekonomi    dan    daya    dukung
            lingkungan.
(4)  Rencana   Pembangunan   Industri   Provinsi   ditetapkan
            dengan Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh
            Pemerintah    sesuai    dengan    ketentuan    peraturan
            perundang-undangan.

Pasal 11

(1) Setiap bupati/walikota menyusun Rencana Pembangunan
            Industri Kabupaten/Kota.
(2) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun
            dengan  mengacu  pada  Rencana  Induk  Pembangunan
            Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun
            dengan paling sedikit memperhatikan:
a.  potensi sumber daya Industri daerah;
b.  Rencana  Tata  Ruang  Wilayah  Provinsi  dan  Rencana
            Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan
c.  keserasian  dan  keseimbangan  dengan  kegiatan  sosial
            ekonomi serta daya dukung lingkungan.
(4) Rencana     Pembangunan     Industri     Kabupaten/Kota
            ditetapkan  dengan  Peraturan  Daerah  Kabupaten/Kota
            setelah dievaluasi oleh gubernur sesuai dengan ketentuan
            peraturan perundang-undangan.

BAB IV
KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL


Pasal 12



   

(1)        Kebijakan   Industri   Nasional   merupakan   arah   dan
tindakan    untuk    melaksanakan    Rencana    Induk Pembangunan Industri Nasional.
(2)        Kebijakan Industri Nasional paling sedikit meliputi:
a.    sasaran pembangunan Industri;
b.    fokus pengembangan Industri;
c.         tahapan capaian pembangunan Industri;
d.    pengembangan sumber daya Industri;
e.         pengembangan sarana dan prasarana;
f.          pengembangan perwilayahan Industri; dan
g.    fasilitas fiskal dan nonfiskal.
(3)        Kebijakan   Industri   Nasional   disusun   untuk   jangka
waktu 5 (lima) tahun.
(4)        Kebijakan   Industri   Nasional   disusun   oleh   Menteri
berkoordinasi           dengan           instansi          terkait dan
mempertimbangkan            masukan      dari       pemangku
kepentingan terkait.
(5)        Kebijakan   Industri   Nasional   sebagaimana   dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.


Pasal 13

(1)   Kebijakan   Industri   Nasional   sebagaimana   dimaksud
            dalam  Pasal  12  dijabarkan  ke  dalam  Rencana  Kerja
            Pembangunan Industri.
(2)   Rencana   Kerja   Pembangunan   Industri   sebagaimana
            dimaksud pada ayat  (1) disusun untuk jangka waktu  1
            (satu) tahun.
(3)   Rencana  Kerja  Pembangunan  Industri  disusun  oleh
            Menteri   berkoordinasi   dengan   instansi   terkait   dan
mempertimbangkan            masukan      dari       pemangku
kepentingan terkait.
(4)   Rencana  Kerja  Pembangunan  Industri  ditetapkan  oleh
            Menteri.

BAB V
PERWILAYAHAN INDUSTRI



   



Pasal 14


(1)        Pemerintah  dan/atau  Pemerintah  Daerah  melakukan
percepatan  penyebaran  dan  pemerataan  pembangunan Industri  ke  seluruh  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik Indonesia melalui perwilayahan Industri.
(2)        Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan paling sedikit memperhatikan:
a.    rencana tata ruang wilayah;
b.   pendayagunaan   potensi   sumber   daya   wilayah
            secara nasional;
c.    peningkatan   daya   saing   Industri   berlandaskan
            keunggulan sumber daya yang dimiliki daerah; dan
d.   peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai.
(3)        Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan melalui:
a.    pengembangan     wilayah     pusat     pertumbuhan
            Industri;
b.   pengembangan kawasan peruntukan Industri;
c.    pembangunan Kawasan Industri; dan
d.   pengembangan  sentra  Industri  kecil  dan  Industri
            menengah.
(4)        Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  perwilayahan  Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI

Bagian Kesatu
            Umum

Pasal 15


Pembangunan sumber daya Industri meliputi:
a.  pembangunan sumber daya manusia;



   

b.  pemanfaatan sumber daya alam;
c.  pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri;
d.  pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi;
            dan
e.  penyediaan sumber pembiayaan.


Bagian Kedua
Pembangunan Sumber Daya Manusia


Pasal 16

(1)        Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan
            untuk   menghasilkan   sumber   daya   manusia   yang
            kompeten   guna   meningkatkan   peran   sumber   daya
            manusia Indonesia di bidang Industri.
(2)        Pembangunan     sumber     daya     manusia     Industri
            sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1)  dilakukan  oleh
Pemerintah,  Pemerintah  Daerah,  pelaku  Industri,  dan masyarakat.
(3)        Pembangunan     sumber     daya     manusia     Industri
            sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1)  memperhatikan
penyebaran  dan  pemerataan  ketersediaan  sumber  daya manusia  Industri  yang  kompeten  untuk  setiap  wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(4)        Sumber  daya  manusia  Industri  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a.  wirausaha Industri;
b.  tenaga kerja Industri;
c.   pembina Industri; dan
d.  konsultan Industri.


Pasal 17

(1) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud
            dalam   Pasal 16   ayat (4)   huruf   a   dilakukan   untuk
menghasilkan wirausaha yang berkarakter dan bermental



   
kewirausahaan   serta   mempunyai   kompetensi   sesuai dengan bidang usahanya meliputi:
a.  kompetensi teknis;
b.  kompetensi manajerial; dan
c.  kreativitas dan inovasi.
(2) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud
            pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan:
a.  pendidikan dan pelatihan;
b.  inkubator Industri; dan
c.  kemitraan.
(3) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud
            pada   ayat (2)   dilakukan   terhadap   calon   wirausaha
            Industri dan wirausaha Industri yang telah menjalankan
            kegiatan usahanya.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) dilakukan
            oleh:
a.  lembaga  pendidikan  formal  sesuai  dengan  ketentuan
            peraturan perundang-undangan;
b.  lembaga pendidikan nonformal; atau
c.  lembaga     penelitian     dan     pengembangan     yang
            terakreditasi.
(5) Ketentuan            lebih   lanjut  mengenai     tata     cara
penyelenggaraan  kegiatan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 18


(1)        Pembangunan   tenaga   kerja   Industri   sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  16  ayat  (4)  huruf  b  dilakukan
untuk   menghasilkan   tenaga   kerja   Industri   yang
mempunyai kompetensi kerja di bidang Industri sesuai
dengan  Standar  Kompetensi  Kerja  Nasional  Indonesia
meliputi:
a.   kompetensi teknis; dan
b.   kompetensi manajerial.



   

(2)        Pembangunan   tenaga   kerja   Industri   sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan:
a.   pendidikan dan pelatihan; dan
b.   pemagangan.
(3)        Pembangunan   tenaga   kerja   Industri   sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap tenaga kerja dan calon tenaga kerja.
(4)        Kegiatan    sebagaimana    dimaksud    pada    ayat      (2)
dilakukan oleh:
a.   lembaga     pendidikan     formal     sesuai     dengan
            ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.   lembaga pendidikan nonformal;
c.   lembaga    penelitian    dan    pengembangan    yang
            terakreditasi; atau d. Perusahaan Industri.

Pasal 19

(1) Tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
            18 ayat (1) terdiri atas:
a.  tenaga teknis; dan
b.  tenaga manajerial.
(2) Tenaga teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
            a paling sedikit memiliki:
a.  kompetensi teknis sesuai dengan Standar Kompetensi
            Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri; dan
b.  pengetahuan manajerial.
(3) Tenaga  manajerial  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
            huruf b paling sedikit memiliki:
a.  kompetensi    manajerial    sesuai    dengan    Standar
            Kompetensi   Kerja   Nasional   Indonesia   di   bidang
            Industri; dan
b.  pengetahuan teknis.



   

Pasal 20

Pemerintah   dan/atau   Pemerintah   Daerah   memfasilitasi pembangunan  pusat  pendidikan  dan  pelatihan  Industri  di wilayah pusat pertumbuhan Industri.


......................................................................................................................................................................

BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 123


Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.   Undang-Undang    Nomor        5    Tahun       1984    tentang
Perindustrian            (Lembaran   Negara   Republik   Indonesia
Tahun  1984  Nomor  22,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b.   semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
            peraturan  pelaksanaan  dari  Undang-Undang  Nomor  5
            Tahun  1984  tentang  Perindustrian (Lembaran  Negara
Republik  Indonesia  Tahun  1984  Nomor  22,  Tambahan
Lembaran   Negara   Republik   Indonesia   Nomor 3274)
dinyatakan    masih    tetap    berlaku    sepanjang    tidak



   
bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini; dan
c.         Izin  Usaha  Industri  dan/atau  Izin  Perluasan  Industri,
            Tanda Daftar Industri atau izin yang sejenis, yang telah
            dimiliki   oleh   Perusahaan   Industri   dan   Izin   Usaha
            Kawasan   Industri  dan/atau   Izin   Perluasan   Kawasan
            Industri  yang  telah  dimiliki  oleh  Perusahan  Kawasan
            Industri  yang  telah  dikeluarkan  berdasarkan  Undang-
            Undang  Nomor   5  Tahun   1984  tentang  Perindustrian
(Lembaran   Negara   Republik   Indonesia   Tahun      1984
Nomor           22,   Tambahan   Lembaran   Negara   Republik
Indonesia  Nomor  3274)  dan  peraturan  pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang Perusahaan Industri atau  Perusahaan  Kawasan  Industri  yang  bersangkutan masih  beroperasi  sesuai  dengan  izin  yang  diberikan. Pasal  124  Peraturan  pelaksanaan  dari  Undang-Undang ini ditetapkan paling lama  2  (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 125

Undang-Undang     ini     mulai     berlaku     pada     tanggal diundangkan.

Agar     setiap     orang     mengetahuinya,     memerintahkan pengundangan  Undang-Undang  ini  dengan  penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO



   

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 4

Dikutip dari:
www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/113/2610.bpkp
http://www.aprisindo.or.id/en/component/content/article/37-daily-news/106-raker-kemenperind-undang-undang-no3-tahun-2014-tentang-perindustrian



  Video ini menceritakan tentang bengkel motor yang tidak memperdulikan lingkungan, dikarenakan bengkel motor tersebut tidak mempunyai tempat pembuangan limbah seperti oli motor. Bengkel motor tersebut membuang oli sembarangan padahal terdapat larangan mengenai pembuangan limbah usaha industri. Hal ini telah dituliskan pada undang-undang nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian bab 2 pasal 3 ayat 1  "pembangunan industri bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/hasil budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup". Jika melanggar maka usaha tersebut diberikan kesempatan yaitu mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari pemerintah. Pada bagian kedua, video ini membahas tentang perusahaan-perusahaan industri yang berdiri dekat dengan pemukiman warga. Tetapi seharusnya pembuat video harus mengetahui terlebih dahulu apakah daerah tersebut memang sudah ditetapkan sebagai kawasan industri dan warga yang bersikeras mendirikan pemukiman di wilayah tersebut, atau sebaliknya.