"Anugerah Pahlawan Nasional kepada mereka sebagai penghargaan dan
penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, yang semasa
hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, atau
perjuangan politik atau dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, dan
mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa," bunyi Keputusan Presiden Nomor 115/TK/ Tahun 2014 tanggal November 2014.
Anugerah Pahlawan Nasional itu diberikan langsung oleh Presiden Jokowi
kepada ahli waris keempat pahlawan tersebut. Sebelum pembacaan
pengumuman, Presiden Jokowi memimpin untuk mengheningkan cipta sejenak
untuk mengenang jasa para pahlawan nasional.
Keempat tokoh nasional yang mendapat gelar pahlawan nasional yaitu:
1. KH Abdul Wahab

Abdul Wahab Chasbullah berlatar
belakang sebagai sosok yang berasal dari keluarga santri. Ayahnya
bernama Hasbulloh Said merupakan sosok pengasuh Pesantren Tambakberas,
Jombang, Jawa Timur.
Meski sebagai santri, Wahab punya pola
pikir yang kritis karena tergerak hatinya melihat negara yang dijajah.
Kemiskinan dan kebodohan akibat penjajah membuatnya menjadi tokoh ulama
yang peduli dengan nasib masyarakat. Dia juga dianggap sebagai bapak
pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Dari catatannya, Wahab pada 1916
pernah mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathon.
Pendirian organisasi ini untuk membangunkan kesadaran rakyat Indonesia.
Dua tahun berikutnya, untuk mendukung pergerakannya itu, dia mendirikan
Nahdlatut Tujjar.
Pendirian dua organisasi ini agar bisa menjadi
wadah penggalangan dana dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain
itu, untuk memperkuat kesolidan perjuangan umat islam di dunia
pesantren. Awal Nahdlatutut Tujjar berdiri, Wahab diplot sebagai
sekretaris sekaligus bendahara. Kemudian sebagai ketua dipilih tokoh
pendiri NU lainnya, Kiai Hasyim Asyari.
Meski berlatar belakang
NU, Wahab juga dianggap sebagai ulama yang bisa mempelopori forum
diskusi antar organisasi massa seperti Muhammadiyah. Saat negara dijajah
Jepang, dia juga ikut berjuang mengusir penjajah dengan menjadi
Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah).Dalam riwayatnya, Wahab juga
pernah mendirikan harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO
dan Berita Nahdlatul Ulama.
Wahab lahir di Jombang, Jawa Timur, 31 Maret 1888. Dia meninggal di usia 83 tahun pada 29 Desember 1971.
2. Letjen (Purn) Djamin Ginting

Purnawirawan bintang tiga ini lahir di Karo, Sumatera Utara, 12 Januari 1921. Dia meninggal di Ottawa, Kanada, 23 Oktober 1974.
Dalam
karier militernya, Djamin punya catatan cemerlang untuk memperjuangkan
tanah kelahirannya dari upaya penjajahan. Beberapa jabatan mulai dari
Kepala Staf Kodam II/Bukit Barisan hingga Komandan Resimen IV pernah
dilakoninya. Mengawali karir sebagai tentara, Djamin pertama masuk lebih
dulu ke dalam Pembela Tanah Air atau (PETA). Dia juga pernah menjadi
salah seorang tokoh militer di zamannya yang ikut mendirikan
terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat.
Selaku komandan di medan
perang, dia memiliki semangat dan pola pikir yang harus ditanamkan
kepada pasukannya agar tidak mudah tergeser dari Karo. Baginya, wilayah
Sumatera Utara terutama Karo tidak boleh dikuasai Belanda. Tidak
mengherankan saat itu pasukan di bawahnya bisa memunculkan sejumlah
tentara yang menjadi pelopor pejuang melawan penjajah di Tanah Sumatera.
Sebut saja Kapten Mayor Rim Rim Ginting dan Kapten Selamet Ketaren.
Djamin
juga punya catatan penjuangan melancarkan operasi bukit barisan untuk
menghadapi pergerakan pemberontak Nainggolan di Medan. Begitu pensiun
dari militer, dia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kanada.
3. Sukarni Kartowirjo

Pria kelahiran Blitar ini punya
peran penting di balik sejarah proses pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan RI. Saat prosesnya, Sukarni adalah sosok yang mewakili
kelompok muda agar pasangan Soekarno-Hatta secepatnya memproklamasikan
kemerdekaan negara pada 17 Agustus 1945. Dia tidak menginginkan pasangan
itu terlalu berpikir lama menyatakan kemerdekaan negara. Sejarah ini
yang membuat kelompok pemuda harus melakukan ‘penculikan’ terhadap kedua
pemimpin itu ke Rengasdengklok, Jawa Barat.
Sosoknya sejak kecil
digambarkan sebagai orang yang membenci Belanda. Lahir di Blitar, Jawa
Timur, 14 Juli 1916, Sukarni punya catatan gemar berkelahi dengan
anak-anak Belanda. Hal ini dilakukannya hampir setiap hari. Pola pikir
membenci Belanda ini karena tertanam oleh gurunya yang juga tokoh
pergerakan Indonesia saat itu, Mohammad Anwar.
Saat usia 14
tahun, dia sudah bergabung dengan organisasi perhimpunan Indonesia Muda.
Sejak itulah, sikap pejuang, kritis, dan tanpa kompromi semakin muncul.
Sampai ketika Sukarni didaulat menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia
Muda. Saat itu Sukarni baru berusia 20 tahun
Menjadi pimpinan
kumpulan anak muda yang kritis, Sukarni menjadi incaran pemerintahan
kolonial Belanda untuk ditangkap. Namun, dalam usaha penangkapan itu,
dia berhasil melarikan diri hingga beberapa tahun ke depan. Tapi,
beberapa tahun kemudian Sukarni tertangkap di Balikpapan, Kalimantan
Timur. Sukarni juga sempat dijebloskan ke penjara pada 1946 di Madiun.
Begitu Jepang coba mengambil alih Indonesia, Sukarni dan beberapa
temannya malah dibebaskan. Di era jajahan Jepang, Sukarni sempat bekerja
di kantor berita Antara.
Dalam riwayat hidupnya, Sukarni juga
pernah ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat
Tiongkok pada 1961.Dia juga pernah ditunjuk sebagai anggota Dewan
Pertimbangan Agung pada 1967. Tokoh yang pernah mendapat penghargaan
Bintang Mahaputra ini wafat pada tanggal 7 Mei 1971.
4. Mohammad Mangoendiprojo

Pria asal Sragen ini punya
peran penting terhadap perjuangan melawan tentara sekutu di Kota
Pahlawan tersebut. Kegigihan melawan penjajahan Belanda diikuti
Mangoendiprojo dari buyutnya, Setjodiwirjo atau Kyai Ngali Muntoha. Nama
ini dikenal sebagai pejuang asal Jawa Timur yang gigih mempertahankan
daerah Ngawi dan Banyuwangi.
Meski mengalir darah pejuang,
Mangoendiprojo punya pengalaman menjadi pegawai pemerintahan. Beberapa
jabatan yang pernah diraih pria
kelahiran Sragen 5 Juli 1905 ini
antara lain Asisten Wedana dan Wakil Kepala Jaksa Jombang. Karena rasa
nasionalismenya, akhirnya Mangoendiprojo memilih bergabung dengan
Pembela Tanah Air (Peta). Tidak lama lulus dari pendidikan, dia pun
didapuk sebagai komandan batalyon di Sidoarjo.
Dia juga sempat
bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi cikal Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Sebelumnya di BKR,
Mangoendiprojo sempat
menjabat sebagai bendahara Jawa Timur. Tapi, jabatan ini tidak bertahan
lama karena ada perselisihan internal.
Dalam karirnya, dia juga
pernah diangkat sebagai pimpinan TKR di Jawa Timur. Saat itu, dia punya
amanah agar bisa menjalin komunikasi
dengan tentara Sekutu. Namun,
kejadian di area Gedung Perjuangan saat itu membuatnya naik pitam. Saat
itu, dia yang disandera memilih melawan sehingga upaya negosiasi dengan
tentara sekutu mengalami kebuntuan. Adapun tentara sekutu Inggris dari
kesatuan Gurkha enggan menyerahkan diri meskipun sudah terdesak oleh
tentara serta pemuda Indonesia. Hal ini lah yang berujung terhadap
perang pada 10 November 1945 di Surabaya.
Lima bulan berselang
setelah pertempuran di Surabaya, M Mangoendiproko dipromosikan menjadi
mayor jenderal dan Kepala Staf TNI. Pensiun dari tentara, dia menerima
tawaran sebagai residen (gubernur) pertama Lampung. Mangoendiprojo wafat
pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Bandar Lampung.